Sunday, February 11, 2007

Gagal Sunrise di Abu Simbel

Memori Rihlah Luxor-Aswan (11)


Kamis (1/2/2007) malam, saat makan malam di kafetaria hotel, Ustad Majdi mengumumkan bahwa perjalanan berikutnya adalah ke Abu Simbel. Karena letaknya yang jauh, 282 km selatan Aswan, seluruh anggota Nadi Wafidin diharapkan bangun pukul 03.00 dan setengah jam kemudian dapat berkumpul di depan hotel.

Benar saja, sekitar pukul 02.45 tiap kamar ditelpon oleh Ustad Majdi, diingatkan untuk segera bangun dan bersiap-siap melakukan perjalanan. Tak lupa juga disarankan untuk membawa pakaian yang tebal, karena hawa sangat dingin di dini hari menjelang pagi.

Sekitar pukul 03.30, sebagian besar peserta rihlah sudah berkumpul di lobi hotel. Saking dinginnya udara di malam itu, beberapa orang bahkan mengaku memakai pakaian hingga rangkap empat, belum termasuk jaket juga syal dan penutup kepala. Pemandangan jadi lucu, karena meski wajah mereka bersih setelah cuci muka, namun tak dapat menghindarkan diri dari menguap. Sebagian malah iseng memasukkan tangannya ke mulut temannya yang seperti tak sadar menguap besar-besar. Maklum, tidur hanya beberapa jam saja.

Jengkel menunggu bus yang tak datang-datang, Ustad Majdi meminta salah seorang berwajah Eropa untuk menengok ke jalan besar di depan, barangkali bus berhenti di sana. Untungnya, sebelum berjalan terlalu jauh dari hotel, sekitar pukul 03.50 bus yang dinanti tiba. Satu per satu peserta rihlah pun masuk ke dalam bus dengan agak bermalas-malasan karena menahan kantuk.

Saat dicek apakah sudah lengkap, ternyata masih ada seorang peserta yang belum terlihat. Dengan agak kesal, terpaksa Ustad Majdi masuk ke hotel lagi dan tak berapa lama kemudian sudah kembali dengan si lambat itu yang masih terlihat sibuk mengucek-ucek matanya. Karena dianggap terlalu lamban, Ustad Majdi pun sempat terlihat marah-marah. Sayangnya hal ini justru tidak ditanggapi dengan hati dingin. Pertengkaran kecil pun tak terelakkan.

Meski demikian, akhirnya semua masuk ke dalam bus dan sang pengemudi menstarter kendaraannya itu. Sebelum bus berjalan, untuk bekal perjalanan sebuah box berisi makanan jatah sarapan pagi dibagikan. Seperti biasa, isinya juga berkisar di antara roti, keju, telur rebus dan jus kemasan.

Layaknya perjalanan Luxor-Aswan yang dikawal polisi, perjalanan menuju Abu Simbel juga harus menunggu kendaraan lain di bawah kawalan polisi. Sepertinya ada jam-jam tertentu kapan shift pengawal dari pihak kepolisian berjalan bersama iring-iringan kendaraan yang akan menempuh perjalanan Aswan-Abu Simbel.

Saat menunggu kendaraan lainnya itulah, sopir bus tampak keluar, barangkali ingin buang hajat. Apesnya, saat tiba waktunya mobil-mobil lain berjalan bersama kawalan polisi, sampai habis tak ada yang terlihat, justru sopir bus belum muncul. Sedikit kepanikan sempat muncul, sebelum sang sopir terlihat agak terburu-buru datang dan langsung menjalankan kemudinya.

Tertinggal cukup jauh dari iring-iringan rombongan yang mestinya selalu bersama, bus pun dikemudikan dalam kecepatan tinggi. Apalagi setelah keluar kota Aswan dan jalanan tampak lurus jauh ke depan, sopir makin bersemangat mempercepat laju bus. Saat Aghi sempat menengok pada "meteran" yang ada di depan pengemudi, kecepatan bus bahkan rata-rata di atas 120 km per jam.


Karena masih merasa kantuk, sebagian besar peserta rihlah pun meneruskan mimpinya di bus. Beberapa orang malah tampak mendengkur, sementara Aghi, Meri, Ulya dan Yayah masih sempat-sempatnya bermain-main atau berbincang konyol. Hampir setengah perjalanan, baru semua penumpang sudah dapat menutup matanya.

Namanya juga tidur di bus, tak senyaman saat tidur di atas kasur dalam kamar hotel. Sebentar-sebentar juga terpaksa bangun, lalu kalau bisa mencoba terlelap lagi. Aghi yang terbangun, mencoba melihat "meteran" lagi, bus tetap berjalan cepat selalu di atas 100 km per jam. Yang sedikit bikin deg-degan adalah saat suatu ketika bus berjalan di lajur kiri (di Mesir kendaraan harus selalu di lajur kanan). Untung hal itu tak terlalu lama. Sekadar ingin memastikan, Aghi lalu melihat-lihat wajah sopir dari samping, tampak tidak kantuk. Hal ini pun diceritakan kepada Ulya yang duduk di sampingnya di barisan kanan kursi nomor dua dari depan.

Meski bus dikemudikan dalam kecepatan tinggi, bus-bus dan kendaraan travel lain yang awalnya satu iring-iringan belum tampak juga. Barangkali karena jalanan Aswan-Abu Simbel memang terbilang banyak lurusnya, jadi semua selalu berpacu dengan kecepatan tinggi.


Meski sudah dengan kecepatan tinggi seperti itu, sayangnya saat sunrise masih juga dalam perjalanan. Tahu Meri paling suka hunting foto-foto, Aghi dan Ulya pun membangunkannya. Dengan secepat kilat Meri sudah jepret-jepret dengan kamera pinjamannya. Terganggu temannya yang sedang berpolah mencari-cari posisi terbaik untuk menghasilkan gambar bagus, Yayah yang duduk di samping Meri juga terbangun.

Agak malas-malasan, Yayah jadi ikut menikmati terbitnya matahari di ufuk timur. Setelah itu disusul Alfi dan Adon yang tampak kurang enak badan selalu memegangi kepalanya. Alfi pun menyadari keadaan teman duduk di sampingnya itu dan sedari awal menyerahkan sebuah sarung agar badan Adon tak terlalu kedinginan.

Ustad Majdi membangunkan awal-awal peserta rihlah awalnya agar dapat menikmati sunrise di Abu Simbel. Tapi apa mau dikata, terlambat berangkat menjadikan rencana semula tak dapat dilaksanakan. Sesampai di Abu Simbel, jam malah sudah menunjukkan pukul 07.00. Mentari pun sudah mengeluarkan cahayanya yang cukup panas, bertentangan dengan hawa dingin yang dihembuskan angin dengan cukup kencang.


Setelah bus diparkir, sebagian besar anggota rombongan menyempatkan ke toilet dulu sebelum menuju Abu Simbel Temple. Saat berada di balik bukit yang di depannya terdapat kuil Abu Simbel, danau Naser yang mengelilingi kawasan itu tampak berkilauan memantulkan sinar sang surya.


Saat seorang guide menerangkan peristiwa di balik berdirinya Abu Simbel Temple, malah sekelompok burung terbang rendah di atas air danau. Pemandangan yang sedap dipandang dan dengan sigap Meri pun menjepretkan kameranya beberapa kali hingga burung-burung itu makin menjauh.


Menurut penuturan guide yang menerangkan dalam bahasa Arab campuran ammiyahnya, kuil besar ini didirikan dengan "memotong" aliran sungai Nil. Setelah tak ada air setitikpun di kubangan besar akibat dimatikannya arus air ke kawasan itu, perbukitan batu itu lalu dipahat dan diukur. Secara garis besar, kuil Abu Simbel terdiri dari dua bagian. Kuil pertama sebagai kuil utama dihiasi 4 patung besar setinggi hampir 40 meter. Empat patung itu adalah masing-masing dua patung Ramses II yang sedang duduk didampingi istrinya yang konon terkenal dengan kecantikannya, Nefertari.


Di dalam kuil, di balik 4 patung besar yang di bawahnya berdiri patung-patung lebih kecil simbol anak-anak salah seorang penguasa Mesir kuno itu, terdapat ruangan-ruangan cukup luas. Berbagai ukiran dan pahatan menghiasi dinding-dinding setiap ruangan serta tiang-tiang yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah gambaran yang menunjukkan Ramses II memegang anak panah dan busurnya yang siap dihunus, berada di atas kereta sedang memimpin perang. Ramses II memang dikenal gagah berani dan sering turun langsung dalam peperangan.


Sementara kuil kedua yang ukurannya lebih kecil, dihiasi 6 buah patung masing-masing setinggi sekitar 27 meter. Dari kanan ke kiri, patung-patung berdiri itu adalah 4 patung Ramses II dan 2 patung istrinya Nefertari. Tak jauh berbeda dengan kuil utama, dinding-dinding kuil ini juga indah terpahat cerita dan legenda jaman Mesir kuno.


Salah satu kelebihan Abu Simbel Temple yang mencolok adalah bisa masuknya sinar matahari hingga ke ruangan terdalam di kuil utama, dimana 4 patung dewa berada. Setiap tahun, pada tanggal 22 Februari dan 22 Oktober sinar matahari dapat
menerobos masuk hingga ruangan terdalam itu. Uniknya, 22 Februari merupakan hari ulang tahun Ramses II sementara 22 Oktober adalah hari dimana penguasa Mesir di jaman Nabi Musa As. itu naik tahta.

Ada cerita lain di balik berdirinya kuil Abu Simbel ini. Sebenarnya sebelum berada pada tempatnya yang sekarang, dua kuil itu sempat terendam air saat pembuatan bendungan besar (Aswan High Dam) di dekat kota Aswan. Karena kuil ini merupakan peninggalan sejarah yang amat berharga, UNESCO turut serta memikirkan bagaimana melestarikannya. Akhirnya pada tahun 1964-1968, pemerintah Mesir dibantu UNESCO memindahkan Abu Simbel Temple, diangkat sekitar 60 meter dari tempat semula. Agar posisi dan letak nya persis sesuai dengan aslinya, dibuatlah bukit buatan sebagai penyangga di belakangnya.

Akhirnya meski berpindah tempat, kuil Abu Simbel ini tetap terlihat seperti sedia kala, hanya sudah nampak guratan-guratan pecahan patung dan bangunan secara umum. Karena untuk memindahkan pahatan batu sebesar itu, rasanya mustahil jika dilakukan dengan sekali angkut. Makanya terpaksa dipecah-pecah, lalu diangkat satu per satu dan ditata kembali seperti sedia kala sebagaimana aslinya saat dibuat lebih dari 3000 tahun silam.


Saking asyiknya menikmati keindahan kuil Abu Simbel dan panorama di sekelilingnya, hampir semua peserta rihlah dari Indonesia tak sadar bahwa jam hampir menunjukkan pukul 09.00, waktu yang ditentukan Ustad Majdi untuk meninggalkan Abu Simbel Temple. Lupa diri, saat berjalan menuju bus pun sempat-sempatnya berfoto ria dan berleha-leha menghirup udara sambil jalan santai.

Sampai di bus melebihi pukul 09.00, tak pelak membuat Miss Najla marah besar. Umpatan-umpatan dan perasaan dongkol pun ditumpahkan. Hingga mulai saat itu, beberapa anak Indonesia memplesetkan namanya menjadi Miss Galak. Karena dalam bahasa pasaran sering huruf "j" dibaca "g", maka Miss Najla dibaca Miss Nagla, amat dekat dengan hasil plesetan: Miss Galak.

Karena memang ternyata shift pengawalan polisi ada jadwalnya sendiri, terpaksa bus tak bisa bergerak hingga menunggu pukul 10.00. Untungnya hawa panas udara siang tertutupi hembusan angin dari AC bus yang berjalan cukup kencang. Dalam perjalanan pulang bus kembali dikemudikan dengan kencang. Sampai di kota Aswan sekitar pukul 13.00.

Sekembalinya di hotel, menurut Ustad Majdi sudah tak ada agenda wajib lagi, sehingga peserta rihlah bebas mau beristirahat, belanja atau jalan-jalan sendiri. Karena geng berenam sudah menaiki perahu layar sehari sebelumnya, maka dibolehkan tidak mengikuti agenda tambahan berupa naik perahu layar di Nil.[]

No comments: