Monday, December 26, 2011

Kisah Shalat Istikharah (1)

Kapan pertama kali mendengar tentang shalat istikharah? Saya sebenarnya sudah sejak kecil mendengar istilah istikharah. Istikharah, yang secara etimologi bisa diterjemahkan sebagai “ingin memilih”, pertama kali saya praktikkan pada tahun 2001. Saat itu awal berada di Mesir. Kisahnya berkaitan dengan cinta pertama, yang diawali cinta monyet tetapi kemudian berkembang menjadi cinta beneran. Buktinya, bertahan dari kelas 2 MTs sampai tahun ketiga duduk di bangku kuliah. Kalau dihitung-hitung rentang waktunya mencapai hampir 8 tahun—meski sempat terputus sekitar setahun di 2001 itu.

Nah, setelah putus menuju pertautan kembali itulah saya pertama kali melaksanakan shalat istikharah. Awalnya seperti begitu mudah saling mengucapkan “ai lev yu”, tetapi rupanya kali ini harus diucapkan dalam status mahasiswa, tentu harus disikapi lebih dewasa. Si dia pun menanyakan keseriusan saya. Nah loh, saya sempat dag-dig-dug-der-daia lah atas pertanyaan itu. Karena itulah, tanpa tanya sama ortu, saya coba mengambil keputusan sendiri (don’t try this ya!).

Sebenarnya hati sudah bulat untuk menjawab “ya, serius!” namun coba ah istikharah dulu. Saya sendiri bingung bagaimana sih istikharah itu. Bodohnya, saya tidak coba membuka buku-buku yang ada untuk mencari tahu tentang shalat istikharah. Akhirnya berdasarkan ingatan saja, dan ingatan itu pun sama sekali tidak mutawatir alias dari dengar-dengar-mencuri-dengar.

Saat itu setahu saya shalat istikharah ya setelah selesai shalat dua rakaat lalu buka mushaf Al-Qur`an sekenanya dan lihatlah isi kandungan ayat yang secara acak dipilih itu. Konon, dari ayat itulah bisa “diterawang” kira-kira pilihan kita itu ke depannya bagaimana. Kebetulan juga saat itu yang terbuka adalah ayat tentang surga. Wah, pilihan tepat nih untuk mengiyakan, pikir saya waktu itu. Duh, benar-benar pengetahuan konyol saat itu.

Akhirnya dengan yakinnya menjawab anggukan. Sekali lagi saya tegaskan: tanpa meminta pendapat ortu. Sengaja saya tegaskan seperti itu karena rupanya ending-nya tidak seperti surga. Kelak, kami tetap harus berpisah jua. Jadi, bagaimana pun juga saya sarankan orang tua tetap harus diutamakan untuk dimintai pendapat soal masa depan. Dapat saya simpulkan bahwa istikharah saya ketika itu memang tidak bisa ditiru karena tidak melalui dasar rujukan yang tepat. Kalau memang benar ada tata cara istikharah seperti itu, maka dapatkanlah dari guru atau buku yang tepat, tidak sekadar dengar-dengar saja tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sekian lama kemudian saya tidak bersentuhan lagi dengan istikharah. Sampai pulang ke Indonesia dan bekerja di penerbitan di Jakarta. Sebagai penyunting bahasa, kebetulan salah satu buku yang harus saya sunting memuat tentang tata cara shalat istikharah. Karena menyunting buku itu membacanya berkali-kali maka tata cara shalat istikharah itu rupanya benar-benar merasuk ke dalam lubuk hati saya yang paling dalam, cieeeee….

Untuk “uji coba” kebenaran tata cara shalat istikharah yang saya dapatkan dari menyunting buku itu, kebetulan saat itu saya merasa melihat seorang bakal calon pendamping hidup. Bismillah, saya melaksanakan shalat istikharah. Sesuai dengan tuntunan dalam buku itu, saya melaksanakan shalat dua rakaat, lalu membaca doa yang ma’tsur dari Rasulullah saw. Setelah itu, biarlah Allah yang menunjukkan jalan terbaik. Beberapa saat kemudian, entah kenapa tiba-tiba ada orang yang tanpa pendahuluan basa-basi apa pun, kok mengatakan kekurangan alias kelemahan yang melekat pada diri si dia yang kiranya tidak baik buat saya. Hmm, ini mungkin petunjuk dari-Nya.

Istikharah berikutnya berkaitan dengan pekerjaan. Selepas dari penerbit di Jakarta itu, saya pulkam. Di tengah pulkam, rupanya ada telpon dari nomor yang tidak saya ketahui. Yang saya tahu hanyalah 021, artinya dari Jakarta. Sayang, telpon tersebut hanya jadi missed call karena saya tidak mendengar deringnya. Kemudian saya ketahui dari seorang teman bahwa itu rupanya dari sebuah penerbit lain di Jakarta yang levelnya di atas penerbit yang pernah saya bela. Dia mengatakan begitu karena ternyata pemimpin redaksinya sempat meminta nomor hp saya kepadanya.

Saya pun bimbang. Niat hati pulkam memang rencananya untuk mengabdi pada wong ndeso sajalah. Namun, ini ada tawaran dengan prospek begitu cerah untuk masa depan, belum lagi pendapatan yang kiranya jauh di atas penerbit sebelumnya. Karena ragu-ragu, saya pun meminta orang tua untuk mengistikharahkan. Berbeda dengan tata cara yang saya pelajari, menurut ortu, petunjuknya adalah sebuah ayat yang kandungannya kira-kira “rezeki bisa datang dari mana saja”. Tanpa pikir panjang, saya berkesimpulan bahwa berarti di Jakarta pun kalau ada rezeki ya harus saya jemput.

Segeralah saya ke Jakarta. Setelah ngobrol—bukan interview—dengan Pemrednya, saya diberi pekerjaan untuk mengedit sebuah naskah. Konon, pekerjaan freelance itulah yang menjadi tolok ukur layak-tidaknya saya ditarik ke penerbit tersebut. Singkat cerita, karena kemudian laptop mengalami kerusakan cukup serius hingga perlu diperbaiki berkali-kali, saya harus menyerah pada tugas itu. Tidak bisa memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan. Buyarlah harapan saya untuk bisa eksis di penerbit bonafid. Saya pun masih berpusing-pusing memikirkan hasil istikharah ortu dengan ending-nya yang seperti ini…. Kok bisa seperti ini ya?

Sebenarnya, pada saat yang hampir bersamaan, saya juga tengah mengajukan lamaran beasiswa S2 di UGM. Sebelum mendaftar beasiswa ini, saya pun mengamalkan istikharah sesuai ilmu yang saya dapat. Hanya saja, sepertinya tidak ada tanda-tanda positif mengenai kabar beasiswa. Saat itu saya berpikir mungkin yang terbaik buat saya memang tidak kuliah di UGM. Saya benar-benar menikmati tawakal setelah istikharah-usaha-doa seperti itu.

Yang datang kemudian justru kabar bahwa sebuah SMA di dekat kampung saya membutuhkan guru bahasa Arab. Setelah istikharah, saya pun mencoba mengajukan lamaran. Beberapa hari kemudian, saya diminta menghadiri rapat guru di SMA itu untuk bersiap mengajar. Inilah yang terbaik buat saya. Jawabannya begitu cepat.

Alhamdulillah, mungkin ini jawaban dari dua istikharah saya sekaligus. Mendaftar beasiswa tidak diluluskan dan jalan yang harus saya tempuh adalah mulai mengabdi di kampung halaman. Tidak perlu saya sebutkan berapa materi yang saya dapat dari tugas mengajar. Betapa nikmatnya, saat itu saya sepenuhnya percaya bahwa rezeki itu datang dari Allah, sehingga hanya bisa bersyukur saat mendapat honor, itu pun sebagian saya serahkan kepada ibu saya. Menjadi guru di kampung halaman, saya sadar bahwa itu adalah bentuk pengabdian, bukan bentuk mencari nafkah. Toh, insya Allah saya bisa mencari nafkah dengan menjadi penerjemah atau editor lepas, pikir saya saat itu—dan alhamdulillah memang begitu kenyataannya.

Namun, tak disangka tak dinyana, belum genap dua bulan mengajar di SMA, saya mendapat informasi bahwa aplikasi beasiswa saya di UGM diterima. Ya, tahun itu rupanya pengumuman penerimaan mahasiswa dengan beasiswa tertunda sekitar satu bulan. Saya pun segera menghadap kepada kepala sekolah. Dengan begitu pengertian dan tanpa keberatan sedikit pun, kepala sekolah sangat mendukung dan bahkan mendorong langkah saya untuk segera daftar ulang di UGM. Bagaimana dengan pelajaran bahasa Arab yang saya ampu? Nanti mudah dicarikan penggantinya, begitu jawab kepala sekolah. Saya tawarkan untuk tetap mengajar tiap Jumat-Sabtu pun tidak diperkenankan. Katanya kasihan saya kalau harus bolak-balik ke Jogja tiap pekan.

Setelah benar-benar kuliah dengan beasiswa, saya benar-benar merasa betapa besar manfaat yang saya dapat dari shalat istikharah. Hati ini benar-benar dengan mudah menerima apa pun jalan yang harus dilalui, meski itu tidak sesuai dengan harapan semula. Saya pun jadi merasa seperti menemukan jawaban dari istikharah-istikharah yang saya lakukan sebelumnya. Termasuk hasil istikharah ortu soal “rezeki bisa datang dari mana saja”, rupanya saya salah kira di awalnya itu, karena setelah saya perhatikan lagi, rupanya memang rezeki itu bisa dari mana saja, tidak harus dari penerbit bonafid seperti harapan semula.[]

Kampung Sawah, 27 Desember 2011-Wonoyoso, 29 Januari 2012